Selasa, 28 Mei 2013

Pasal-Pasal Mengenai Pencemaran Nama Baik (Defamation) UU ITE No. 11 tahun 2008


Pasal 27
1.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
2.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
3.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28
1.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
2.      Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 36
1.      Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
2.      perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 sampai pasal 34 yang
3.      mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Pasal 51
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 45
1.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.      Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Selain didalam UU ITE No. 11 tahun 2008, didalam KUHP pun terdapat pasal – pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik, berikut pasal – pasal tersebut
Pasal 310 :
1.   Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan sengaja meyerang kehormatan atau nama baik sesorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2.   Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3.  Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 Kebebasan Berpendapat
Hubungan UU ITE No.11 (pasal pencemaran nama baik) dengan HAM dan tujuan negara RI.
Masalah muncul ketika banyak yang menginginkan UU ITE No. 11 tahun 2008 tersebut di revisi, dikarenakan mereka menganggap dengan adanya UU tersebut akan membuat kebebasan menyatakan pendapat akan tersisihkan dan juga tidak sesuai dengan tujuan negara RI, berkaitan dengan hal tersebut, kami akan mengulas tentang keterkaitan UU ITE No. 11 tahun 2008 (terutama pasal pencemaran nama baik) dengan HAM dalam hal ini kebebasan berpendapat dan tujuan RI.

Hal pertama yang menjadi masalah yaitu apakah tujuan dibuatnya UU ITE No. 11 tahun 2008 sejalan dengan tujuan negara RI,
Tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008 tercantum pada Pasal 4, yaitu:
1.      Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2.      Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3.      Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4.      Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
5.      Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Tujuan di atas sejalan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diantaranya “mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pembentukan UU ITE No. 11 tahun 2008 konsisten dengan tujuan Negara Republik Indonesia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa kebebasan untuk mengakses informasi sudah dikebiri oleh UU ITE No. 11 tahun 2008 dan melanggar HAM.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 justru memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk mengakses informasi elektronik tetapi untuk kategori informasi elektronik yang berkualitas dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia. Kami tidak sependapat dengan kebebasan tanpa kontrol karena kita hidup dalam suatu negara yang memiliki tujuan. Kebebasan tanpa kontrol menunjukkan suatu pemikiran yang tidak mengarah pada pencapaian tujuan. Seseorang yang hidup dengan tujuan, dicirikan oleh kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang sepatutnya diakses dalam rangka pencapaian tujuan itu. UU ITE No. 11 Tahun 2008 sudah menampakkan perilaku itu, melindungi informasi elektronik yang berkualitas dan melarang informasi elektronik yang tidak berkualitas. Demikian pula, HAM dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan penyebaran dan pengaksesan informasi memiliki kontrol berupa tujuan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial.

Musni Umar Tulis Soal Korupsi


Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Musni Umar menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik terhadap kepala sekolah dan guru-guru SMA 70 Jakarta. Musni adalah mantan Ketua Komite Sekolah SMA 70. Beliau berusaha membongkar adanya dugaan penyelewengan uang oleh penyelenggara sekolah.
Musni Umar dilaporkan atas tulisannya yang berjudul “Teladani Kejujuran Rasulullah SAW dalam Memimpin Sekolah” diblognya. Tulisan tersebut memuat dugaan korupsi dalam pengelolaan anggaran sekolah, terutama pengelolaan anggaran kelas internasional dan kelas akselerasi. Dalam tulisan itu Musni mengatakan penerimaan dan pengeluaran uang di kelas internasional dan kelas akselerasi tidak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Akibatnya, tidak ada yang mengetahui penggunaan uangnya kecuali kepala sekolah serta pengelola kelas kelas internasional dan kelas akselerasi. Hal ini membuat Musni menduga ada korupsi di sekolah. Terlebih lagi, komite sekolah tidak diberikan akses untuk mengontrol penggunaannya.
Ricky Agusriady, Ketua Komite SMA 70, melaporkan Musni Umar atas pencemaran nama baik dirinya. Beliau menjelaskan laporan pencemaran nama baik diajukannya karena Musni Umar menyebarkan fitnah dan kebohongan serta pencemaran nama baik melalui milis mengenai dirinya. Dalam milis tadi, kata Ricky, Musni menuduh dirinya menggelapkan dana komite sebesar kurang lebih Rp 1 miliar.
Musni Umar dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 15 Juni 2011 dengan tuduhan melanggar Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

1.      Kicauan Farhat Abbas
Ramai kisruh soal pelat nomor mobil dinas Gubernur dan Wakil Gubernur DKI rupanya menarik perhatian pengacara Farhat Abbas. Melalui akun Twitternya, ia mengkritisi sikap Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggapnya tidak pantas karena mempersoalkan penjualan nomor kendaraan kepada pengusaha.
Ia menulis dalam akun Twitternya @farhatabbaslaw: "Ahok sana sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke org umum katanya! Dasar Ahok plat aja diributin!" Dia kemudian menutup kicauannya dengan penyataan bernada SARA.
Ramdan Alamsyah, sesama pengacara, melaporkan Farhat ke Polda Metro Jaya, Kamis, 10 Januari 2013 siang. Ramdan menyebut, Farhat tak menghargai perbedaan suku dan etnis di Indonesia.
Farhat Abbas kemudian meminta maaf kepada wakil gubernur Jakarta itu di akun Twitternya. "Pak Wagub Ahok yg bijaksana! Minta maaf ya , tks anda tak sensi. Kita tutup masalah plat nomor mobil, slmt berkarya" tgu kritik sy yg lain," tulis Farhat dalam akun @farhatabbaslaw, Kamis, 10 Januari 2013.
Farhat Abbas dilaporkan kembali oleh Anton Medan, mantan narapidana yang juga merupakan tokoh Tionghoa. Ia mengaku kebingungan ketika dilaporkan Anton Medan, mantan narapidana yang juga tokoh Tionghoa. Sebab, dia berpikir masalah selesai setelah dia meminta maaf secara langsung kepada Wakil Gubernur Basuki.
Dia mengatakan, cuitan "Cina" yang ditulisnya di Twitter tidak untuk menghina siapa pun. Dia pun berdalih, penggunaan kata "Cina" di Indonesia ini hanya kurang tersosialisasi. 
Jika memang terbukti melakukan tindakan mengarah rasisme, dia pun akan menyerahkannya kepada proses hukum. Namun dia meminta itu harus dibuktikan terlebih dulu. 

Contoh Kasus Pencemaran Nama Baik (Defamation)


Jika dalam dunia nyata berlaku peribahasa “Mulutmu, harimau-mu” maka hal yang sama juga diterapkan di dunia maya ini, namun yang menjadi sasaran adalah tulisan seseorang di dunia maya. Berikut ini adalah contoh kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik melalui dunia maya, antara lain:
1.      Prita Mulyasari vs Rumah Sakit OMNI Internasional Tangerang
Siapa yang tidak tahu nama Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang ditahan karena surat elektronik yang dikirimkan ke sepuluh orang temannya berisi tentang keluhannya terhadap Rumah Sakit OMNI Internasional. E-mail tersebut kemudian menyebar di berbagai mailing list dan pihak RS OMNI tidak terima dan merasa dicemarkan sehingga mengajukan gugatan pidana ke Direktorat reserse Kriminal Khusus di Pengadilan Negeri Tangerang.
Prita Mulyasari kemudian dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Undang Undang Informasi dan Transaksi dan Elektronik dan divonis membayar kerugian materiil 162 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateriil.
Berikut kronologis kasus Prita Mulyasari yang harus berurusan dengan pihak berwenang akibat mengirim email keluhan :
7 Agustus 2008
Prita memeriksa kesehatan ke Rumah Sakit Omni Internasional yang berada didaerah Serpong Tangerang dengan keluhan pusing dan panas. Dari hasil pemeriksaan didapati hasil  Thrombosit 27.000 (normal 200.000) dengan suhu badan 39 derajat. Kemudian langsung dirawat di rumah sakit dengan di diagnosa menderita penyakit demam berdarah.




8 Agustus 2008
Prita mendapat revisi hasil pemeriksaan kemarin yang awalnya 27.000 tapi sekarang berubah jadi 181.000. kemudian prita mulai mendapat banyak suntikan obat.
9 Agustus 2008
Prita mendapatkan suntikan obat lagi. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara. Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik lagi.
10 Agustus 2008
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan mata kiri.
11    Agustus 2008
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000. Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid.
Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia terserang virus yang menular.
15 Agustus 2008
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan pihak rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke kerabatnya yang lain dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional Alam Sutra”. Emailnya menyebar ke beberapa milis dan forum online.
30    Agustus 2008
Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca Detik.com.


5 September 2008
Rumah Sakit Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus.
22 September 2008
Pihak Rumah Sakit Omni International mengirimkan email klarifikasi ke seluruh costumernya.
8 September 2008
Kuasa Hukum Rumah Sakit Omni Internasional menayangkan iklan berisi bantahan atas isi email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media Indonesia.
24 September 2008
Gugatan perdata masuk.
11 Mei 2009
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata Rumah Sakit OMNI. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan Rumah Sakit OMNI. Prita divonis membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian imateril. Prita langsung mengajukan banding.
13 Mei 2009
Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga dilaporkan oleh OMNI.
2 Juni 2009
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu diterima keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang.
3        Juni 2009
Megawati dan JK mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI meminta MA membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah menjadi tahanan kota.
4 Juni 2009
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di PN Tangerang.

Majelis Hakim tingkat kasasi pada tanggal 29 September 2010 telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya Mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten.
Majelis Hakim tingkat Kasasi dalam putusannya adalah menolak seluruh gugatan dari Para Penggugat. Yang menarik dari perkara Prita Tersebut ada beberapa kaidah hukum yang bisa ditarik, yaitu diantaranya sebagai berikut :
·         Bahwa mengungkap sebuah perasaan berupa keluhan tentang apa yang telah dialami selama menjalani proses pengobatan, baik berupa pelayanan selama di rawat inap maupun tindakan medis lainnya selama berada di rumah sakit yang dituangkan dalam sebuah email lalu disebar luaskan melalui email ke alamat email kawan-kawannya, tidaklah kemudian lalu dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum;
·         Bahwa tindakan mengirim atau menyebarkan email yang berisi keluhan tersebut kepada kawan-kawannya, juga bukan merupakan sebuah penghinaan, oleh karena hal tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerang pribadi seseorang atau instansi, melainkan hal tersebut adalah merupakan sebuah kenyataan atau fakta tentang apa yang dialami berkenaan dengan pelayanan medis;
·         Bahwa email adalah merupakan sebuah media komunikasi yang bersifat personal dan tertutup dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses dan membacanya, dengan demikian bukan merupakan media yang bersifat umum dimana setiap orang dapat membuka dan membacanya, seperti media umum lainnya;
·         Bahwa mengeluh sebuah pelayanan medis dengan menggunakan surat elektronik terbuka pada sebuah situs (customer@banksinarmas.com), lalu mengirimkan hal tersebut kepada kawan-kawannya melalui email, masih dianggap dan dinilai dalam batas-batas kewajaran dalam kerangka penyampaian informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia;
·         Bahwa hak untuk menyampaikan informasi melalui berbagai media, secara konstitusional telah diakui dan dijamin dalam pasal 28 F UUD 1945 yang menentukan bahwa ” setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia’
·         Bahwa adanya putusan hakim pidana yang telah menyatakan terdakwa dibebaskan dari tindak pencemaran nama baik, terkait dengan gugatan perdata, putusan pidana tersebut dapat dijadikan bahan dan dipakai sebagai salah satu dasar / alasan untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah sifat melawan hukum, sehingga dapat membebaskan dirinya dari adannya tuntutan ganti rugi secara perdata atas gugatan pencemaran nama baik/perbuatan melawan hukum.

PENCEMARAN NAMA BAIK (DEFAMATION)

 Pengertian Pencemaran Nama Baik

Secara umum pencemaran nama baik (Defamation) adalah tindakan mencermarkan nama baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik melaui lisan ataupun tulisan. Pencemaran nama baik terbagi ke dalam beberapa bagian:
1.  Secara lisan, yaitu pencemaran nama baik yang diucapkan.
2.  Secara tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan melalui tulisan.

Dalam pencemaran nama baik terdapat 3 catatan penting didalamnya, yakni :
1.  Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik dalam pencemaran merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari korban pencemaran.
2.   Pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku.
3.      Orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.
Bagi bangsa indonesia, pasal pencemaran nama baik dianggap sesuai dengan karakter bangsa ini yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma agama jika yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.

Pencemaran nama baik sangat erat kaitannya dangan suatu kata penghinaan dimana penghinaan itu sendiri memiliki pengertian perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan seseorang. Sasaran dalam pencemaran nama baik pun dapat digolongkan menjadi :
·         Terhadap pribadi perorangan.
·         Terhadap kelompok atau golongan.
·         Terhadap suatu agama.
·         Terhadap orang yang sudah meninggal.
·         Terhadap para pejabat yang meliputi pegawai negeri, kepala negara atau  wakilnya dan   pejabat perwakilan asing.

CYBER LAW


A.    Pengertian Cyber Law
Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law,  yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (Law of  Information Teknologi), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara.
Secara akademis, terminologi ”cyber law” belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika)
Secara yuridis,  cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan
hukum secara nyata.

B.     Tujuan Cyber Law
Cyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana.  Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.



C.    Ruang Lingkup Cyber Law
Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau  aspek hukum dari:
·         E-Commerce,
·         Trademark/Domain Names,
·         Privacy and Security on the Internet,
·         Copyright,
·         Defamation,
·         Content Regulation,
·         Disptle Settlement, dan sebagainya.

D.    Topik-topik Cyber Law
Secara garis besar ada lima topik dari Cyber Law di setiap negara yaitu:
·         Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
·         On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
·         Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
·         Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
·         Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.




E.     Komponen-komponen Cyber Law
Komponen-komponen Cyber Law antara lain:
·         Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
·         Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
·         Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang  patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.
·         Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
·         Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.
·         Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.
·         Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

F.     Perangkat Cyber Law
Pembentukan Cyber Law tidak lepas dari sinergi pembuat kebijakan Cyber Law (pemerintah) dan pengguna dunia cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara menetapkan prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara lain :
1.    Melibatkan unsur yang terkait (pemerintah, swasta, profesional).
2.    Menggunakan pendekatan moderat untuk mensintesiskan prinsip
3.    Memperhatikan keunikan dari dunia maya
4.    Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang global
5.    Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan.
6.    Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik
7.    Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif melainkan harus direktif dan futuristik
8.    Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum akibat transaksi di internet seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.

G.    Asas-asas Cyber Law
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
·         Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
·         Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
·         nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
·         passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
·         protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
·         Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity
), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.

H.    Teori-teori Cyber Law
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
·         The Theory of the Uploader and the Downloader.  Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.
·         The Theory of Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
·         The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

I.       Perkembangan Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia.